Keluarga kecilku

Keluarga kecilku
Kami keluarge kecil, hidup sangat sederhana. Kami yang sekarang ber 6, sudah lumayan lega sejak tidak ada biaya yang keluar di waktu bersamaan, waktu sibungsu sekolah, 2 tengah sekolah dan aku sekolah, di tahun ajaran baru. Waktu kami ber5, sebelum ada sibungsu, mama sering menjual perhiasannya, sampai yang kecil sekalipun, seperti anting yang cuma sekian ratus ribu hingga cincin kawin. Aku masih ingat ada kalung dan anting yang serupa, permata bunga, dijual mama untuk biaya kami sehari- hari. Pertama kalung, beberapa hari setelahnya anting. Ya, papa juara satu, memang pegawai pangkat awal dikantornya, apalagi di perusahaan yang waktu itu kena dampak krisis dan mama tidak dibolehkan bekerja.
Aku TK (taman kanak-kanak) masih tinggal dirumah gadang amak (nenek-orang tua mama). Sampai di aku kelas 2 sekolah dasar, kami pindah kerumah kami, tanpa teras, tanpa pagar. Aku yang sering berantem dengan adik ku. Aku kakak perempuannya, aku tidak begitu paham berbagi dengan 2 adik laki- lakiku. Aku di sekolah dasar mendapat beasiswa. Beberapa ratus ribu itu lega rasanya. Aku belikan cincin emas, yang ini saran dari mama. Kami keluarga pegawai pangkat awal, terjadi perbedaan yang jauh dari tanggal gajian papa sampai ke tanggal sebelum gajian. Setelah membeli cincin, aku mendengar papa dan mama berbicara tentang kami tidak ada uang untuk belanja besok, besok dan besoknya. Kujual cincin beasiswaku.
Papa pegawai masuk tahap awal memberikan pendidikan terbaik kepada kami. Kami juga kursus ditempat- tempat bagus di kota kami. Adik- adikku yang sedikit rajinnya disekolahkan asrama dan swasta terbaik dikota, entah bagaimana bisa kami hidup waktu itu. Mama pinjam uang kesana kemari, tambal sulam. Oya, kalau baju sekolah, kami juga turun diturunkan. Baju ku turun ke adikku, baju adikku turun lagi. Tidak baju sekolah aja, baju harian juga. Sebelum berangkat sekolah, kami sarapan nasi telur dadar, 2 telur yang kami bagi berlima, entah mengapa, waktu itu semua cukup.
Setiap papa pulang, kami berlarian membukakan pintu, berharap papa bawa kue, gorengan atau lainnya, ya kami sering kecewa, tapi ya besoknya berlarian lagi, berharap lagi dan seterusnya. Kami tidak begitu sering menghabiskan waktu akhir pekan atau tahun baru bersama, papa ku selalu masuk di hari- hari libur, ya sekarang aku tau, ada uang overtime disana.
Kami hidup begitu, sampai si bungsu lahir dan papa lulus pendidikan manager diperusahaanya.
Aku teringat 1 quote;
“ menikahlah sebelum sukses, agar anakmu melihat dan belajar tentang payahnya hidup hingga mencapai kesuksesan"

Komentar