Sebuah otobiografi. Buku ini berlatar belakang
tahun 1930an sampai 1942 dari beliau menyelesaikan studi di negeri Belanda, sampai di buang
di tanah merah dan Banda Neira hingga kembali lagi ke tanah Jawa saat perang pasifik. Dipertengahan buku, aku kembali lagi keawal dan keakir melihat
penerbit dan pengarang dihalaman belakang, aku temukan nama M.Hatta, sampai aku yakin buku ini memang tulisan beliau yang diterbitkan oleh PT. Kompas
Media Nusantara dan pertama kali diterbitkan dalam bahasa indonesia Januari
2011.
M.Hatta yang dikenal dengan “Gandhi from java”
karena perjuangannya yag mirip dengan “Gandhi" di India, berjuang untuk
kemerdekaan tanpa kekerasan, bedanya Gandhi dengan latar belakang agama dan
M.Hatta dengan latar belakang berjuang untuk kemerdekaan. Pergerakan yang
dilakukan M.Hatta dengan nama PNI (pendidikan nasional indonesia) yang memang
tidak menggunakan kata partai namun menggunakan kata pendidikan.
“ orang yang kurang paham menertawakan
perkumpulan kita sebagai
‘sekolah-sekolahan’. Baik kita tidak akan berkecil hati atau marah.
Memang kita mau ‘bersekolah’ dahulu untuk membentuk budi dan pekerja,
bersekolah dalam memperkuat iman. Sifat perkumpuln kita pendidikan karena memang maksud kita mendidik diri kita. Politik di
negeri jajahan terutama berarti pendidikan”[hal. 26-27]
“Pertimbangan inilah dahulu yang menjadi sebab
maka PNI tidak muncul keluar sebagai partai, melainkan sebagai ‘pendidikan’.
Dengan nama itu kita menerima pekerjaan yang lebih berat daripada pekerjaan
partai. Kita bekerja tidak terutama mencari kuantitas dalam pergerakan kita,
melainkan kualitas, kekuatan rukun” [hal.119]
“ kalau keyakinan itu sudah berkorban dan
dipapah oleh iman yang teguh dan budi pekerti yang bulat, maka semangat rakyat
sudah merdeka, biarpun Indonesia masih diperintah orang asing. Diri boleh
dirantai, akan tetapi semangat merdeka tidak dapat diikat” [hal.28]
Gerakakan yang M.Hatta lakukan adalah
non-cooperation. Pada 13 Des 1932 M.Hatta membalas telegram tentang permintaan
menjadi anggota Tweede Kamer (parlemen Belanda, yang terdiri dari anggota yang
pro dan kontra terhadap negara jajahan). M.Hatta yang merupakan bagian dari
PNI, memutuskan ini dengan terlebih dahulu berdiskusi dengan PNI. Isi salinan
balasan M.Hatta begini:
“Saudara De Kadt. Sebagai keterangan pada
jawaban saya dengan kawat yang berbunyi: tidak bersedia, keterangan dengan
surat menyusul adalah seperti berikut. Menurut dasarnya tidak ada halangan
kalau aku bersedian duduk bersidang dalam Tweede kamer. PO PNI yang
mempertimbangkan permintaan kalian mempunyai keyakinan bahwa duduk bersidang
didalam satu parlemen yang sempurna tidak bertentangan dengan politik
non-cooperation. Akan tetapi, didalam praktik, jika seandainya aku terpilih,
aku toh tidak bisa menerimanya karena aku harus memberikan segala tenagaku
untuk berjuang di Indonesia. Dalam pada itu aku mengucapkan terima kasih banyak
kejujuran hati engkau sekalian yang mau memberi kesempatan bagiku untuk
menentang imprelisme kolonial dalam Dewan Perwakilan Rakyat Belanda”[hal.54]
Jika pun kita mengenal Soekarno dan Hatta, itu
“serangkai”, terjadi juga pertentangan antara mereka. Soekarno dengan Partai
Indonesia (Partindo) dan M. Hatta dengan PNI. Tentang permintaan parlemen
Belanda untuk menjadikan M. Hatta ini anggota tweede Kamer, dinilai Soekarno
sebagai tindakan yang bertentangan dengan politik non-cooperation. Soekarno
membandingkan Tweede Kamer dengan Westminster (parelemen antara Inggis dan
negara jajahannya Irlandia). Kedua hal ini sungguh berbeda dan tidak bisa
disamakan. Belanda untuk negara jajahannya membentuk Volksraad Hindia Belanda. M. Hatta diminta menjadi
anggota Tweede Kamer bukan Volksraad Hindia Belanda.
Ada lagi perbedaan antara mereka, tentang
pergerakan partai masing- masing. Dikarenakan negara terjajah, pemimpin mereka
suatu saat akan ‘dihilangkan’ dan apa yang terjadi dengan partainya. Partindo
saat Soekarno ditahan, tidak bisa menimbulkan kader pemimpin baru, sedangkan
PNI bisa memunculkan pemimpin baru. Masing- masing partai menerbitkan majalah
sendiri. PNI membolehkan anggotanya membaca majalah Partindo untuk mengetahui
perkembangan politik, dimana posisi mereka dan pandangan partai lain terhadap
mereka. Partindo tidak memperbolehkan anggotanya untuk membaca majalah
PNI. Sampai pada saat Soekarno ditahan,
majalah Partindo tidak terbit lagi. Saat M.Hatta ditahan majalah PNI tetap
terbit dengan pimpinan baru dan anggota yang terus berkembang.
“rakyat pilu dan berduka cita, itu sudah
selayaknya mengingat nasib yang diderita oleh Soekarno. Akan tetapi dalam
segala kesusahan rakyat harus sabar. Tiap- tiap pengorbanan harus memperkuat
iman dan batin kita. Dan tidak ada cita- cita yang mulia tidak menghendaki
korban”[hal 102-103]
“adakah lagi kesedian yang lebih sedih
daripada itu? Satu tragedi-Soekarno yang belum ada contohnya dalam riwayat
dunia. Orang kata karena pengaruh istrinya. Di sini tidak istrinya yang bersalah,
melainkan pemimpin Soekarno yang tidak beriman. Orang yang mempunyai karakter
tidak akan terpengaruh oleh karena apa juga. Bukan pemimpin kalau masih
terpengaruh oleh air mata istri yang tak tahan hidup melarat” [hal.124]
Saat dibuang M.Hatta tetap membuat karangan
untuk majalah PNI dan menerbitkan buku. Dimanapun beliau berada, beliau akan
melakukannya.
“Ini kepercayaan, ini propaganda, akan tetapi
tidak cukup dengan itu saja. Tidak cukup kalau kita dalam perasaan saja menamai
diri kita ‘anak Indonesia’, dimana keadaan memaksa harus ditetapkan dengan
bukti. Masih banyak di antara kita yang bernama atau menamakan diri nasionalis
Indonesia, akan tetapi pergaulannya dan semangatnya masih amat terikat kepada
daerah dan tempat ia dilahirkan. Hatinya berat meninggalkan tanah tumpah
darahnya, bercerai dengan pekarangan tempat buaiannya tergantung. Apalagi kalau
ia dipaksa meninggalkan kotanya yang ramai dengan tiada kemauan sendiri, kalau
ia ditempatkan ke suatu daerah yang sunyi, yang adat dan lembaganya berlainan.
Dimana timbul pilu dalam hatinya, teringatlah ia kepada kampung dan lupalah ia
kepada Indonesia yang daerahnya jauh lebih luas daripada kampung dan halaman simusafir tadi” [hal.134]
“Di Digul aku selalu berpesan kepada kawan-
kawan yang dibuang disana, yang lama dan yang baru, supaya menjaga kesehatan,
pikiran dan perasaan, jangan terganggu apa-apa, tetap menerima segalanya dengan
hati yang tenang”.[hal.157]
Sedikit review tentang beliau dan buku, yang dari beliau sekolah di Belanda sampai di buang ke tanah merah hingga Banda Neira, beliau membawa buku yang berpeti-peti. Kejadiin di Banda Neira saat anak angkat Syahrir menumpahkan air di buku beliau " buku adalah alat pengetahuan, harus di jaga".
Semoga dilahirkan lagi pemimpin seperti ini.
Komentar