Survei PwC Tunjukkan Iklim Investasi Migas Indonesia kurang Menarik

JAKARTA--MI: Berkurangnya minat nvestor sektor migas nasional tidak hanya tercermin dari menurunnya keikitsertaan perusahaan migas nasional dan asing dalam tender wilayah kerja (WK) migas. Hasil survei Price Waterhouse Coppers (PwC) menunjukkan sejumlah pelaku industri migas dunia melihat Indonesia sudah tidak lagi manarik untuk investasi.

Dalam survey PwC yang dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan yang mewakili sekitar 68% produksi minyak bumi di Indonesia, rata-rata kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) merasa pesimistis berinvestasi di sektor ini. "Cahaya (harapan) tersebut tampaknya semakin mulai meredup. Indonesia tidak terlalu menjadi tujuan utama investasi migas," ujar Penasihat Teknis Bidang Migas PwC, William Deertz dalam paparan evaluasi sektor migas yang dimuat jurnal PwC di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Deertz, pandangan umum dari para responden memperkirakan terjadinya penurunan belanja modal (capital expenditure/Capex) selama 5 tahun ke depan. "Kalaupun tidak menurunkan capex, mereka tidak akan menambah alokasinya. Jadi tidak ada perubahan dalam belanja modal dari tahun-tahun sebelumnya," ujar Deertz.

Kondisi ini, imbuhnya, merupakan perubahan persepsi yang signifikan. "Pada survei sama yang pada 2008 menyatakan, mayoritas responden menganggap belanja modal akan meningkat signifikan dalam beberapa tahun ke depan. Pandangan pesimistis ini merupakan perkembangan yang mengkhawatirkan," ujar Deertz.

Hasil survey PwC ini menyimpulkan secara umum peningkatan iklim investasi di Indonesia harus terus ditingkatkan agar tetap kompetitif. "Pembenahan yang harus dilakukan pemerintah Indonesia adalah kepastian peraturan, konsistensi, dan rasa kompetitif untuk dapat menarik lebih banyak investasi," ujarnya.

Dalam survei sebelumnya, PwC telah menyoroti beberapa masalah yang dapat menghambat daya tarik investasi di sektor migas di Indonesia. Masalah-masalah yang menghambat itu diantaranya campur tangan dari instansi pemerintah lain, seperti otoritas pajak.

"Ketidakpastian akan biaya penggantian eksplorasi dan produksi (cost recovery) dan hasil audit BP Migas dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga menjadi perhatian," ujarnya.

Hal lainnya adalah masalah keabsahan kontrak migas, korupsi, kolusi, dan nepotime, serta ketidakjelasan peraturan di bawah Undang-undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi," pungkas Deetz. (Jaz/OL-04)


(copaste dari media indonesia)

Komentar

Anonim mengatakan…
awal yang baik